Dilan 1990 - Balada Cinta SMA yang Bikin Baper Tante-Tante Se-Indonesia

11.2.18

pic : infobandung.com


Judul film : Dilan 1990
Genre : drama, romance
Produksi : Falcon Pictures
Sutradara : Fajar Bustomi, Pidi Baiq
Pemeran : Iqbaal Ramadhan, Vanesha Prescilla, Giulio Parengkuan, Omara Esteghlal, Teuku Rifnu Wikana, Happy Salma, Ira Wibowo, Farhan
Durasi : 112 menit
Rating : Remaja (13 tahun ke atas)

----------

Halo, kawans!

Ini review perdana di blog terbaru saya. Saya memilih film yang lagi hits berat di Tanah Air saat ini : Dilan 1990.

Well, sebenarnya saya termasuk telat menonton. Dilan 1990 sudah rilis sejak 25 Januari 2018 dan saya baru menyaksikan di minggu ketiga penayangannya. Harap dimaklumi ya, emak rempong harus curi-curi waktu buat bisa menikmati nonton bioskop tanpa ganggguan hahaha!

Sehari sebelum saya menonton di hari Jumat, 9 Februari, saya membaca berita online yang memuat keberhasilan Dilan menembus 4juta penonton! Saya yakin betul, tidak sedikit yang menontonnya lebih dari satu kali. Begitu kuatnya pesona Dilan sampai membuat jutaan orang Indonesia jadi termehek-mehek.

Apalagi begitu baca review suka-suka ala Teppy, penasaranlah saya. Ingin ikut jadi tante-tante yang terpuaskan oleh (Dek) Dilan.

Sebelum menonton, saya sudah terlebih dahulu membaca novel karya Pidi Baiq ini. Dilan 1990 dan Dilan 1991, saya lahap dalam 2 hari saja. Jujur, sudah ada bayangan tersendiri tentang Dilan dan Milea yang terbentuk di otak saya.

Namun, sebagaimana halnya menonton sebuah film yang diadaptasi dari novel populer, saya wajib menguras dan mengosongkan pikiran. Membandingkan isi novel dan film secara apple to apple tentu saja enggak adil. Film sepantasnya mengambil inti-inti terbaik dan terpenting dari novel lalu memvisualisasikannya dengan pas.

Jadi, apa yang terjadi waktu saya menonton Dilan 1990, di siang bolong, sendirian, bergabung dengan sederet ABG SMP dan SMA?

Ini dia cerita saya.
***


Dilan 1990 mengangkat kisah di novel pertama berjudul sama. Kisahnya punya premis sederhana.

Alkisah di Bandung, menjelang akhir tahun 1990, seorang cowok SMA bernama Dilan (Iqbal Ramadhan) naksir sama cewek baru di sekolahnya. Milea Adnan Hussain (Vanesha Prescilla), cewek kelas sebelah yang digambarkan cantiknya diabisin sendiri. Biar nambah gemes, dipakailah formula andalan = bad boy fell in love with a pure, feminine girl (biasanya di shoujo manga, ini macam pakem standar).

Tapi, ternyata Dilan bukan bad boy standar yang kerjanya godain cewek di pinggir gang. Dilan adalah Panglima Tempur dari sebuah geng motor yang disegani. Bapaknya tentara dan ibunya guru. Kloplah meramu sosok Dilan yang terpandai di kelas, sekaligus terbengal seantero sekolah.

Lia – begitu Milea akrab dipanggil – awalnya enggak tertarik dengan Dilan. Cara Dilan mendekati Lia, yang juga anak seorang tentara, emang campuran gombal dan garing. Berlagak jadi tukang ramal, melontarkan kalimat-kalimat aneh (semacam “Aku belum mencintaimu sekarang, tapi enggak tahu kalo entar sore”), adalah beberapa di antaranya.

Namun, tingkah Dilan yang manis dengan caranya sendiri ini menyadarkan Milea. Dilan adalah cowok yang tulus menyukainya, melindunginya, dan hanya ingin membahagiakannya. Barisan cowok-cowok yang mengharapkan hati Milea, semua sukses gigit aspal. Mulai dari Beni si posesif bin sengak, Nandan si ketua kelas teladan, sampai Kang Adi si mahasiswa kampus gajah yang pedenya tingkat dewa.

Kibasan poni Dilan, eh maksudnya, kibasan perhatian Dilan, apalagi pas baca puisi-puisi rahasianya, bikin semua ABG cewek dan tante-tante haus nostalgia kompak bilang : AWWW, SO SWEET BANGETTTT!

Dilan dan Milea semakin dekat. Sampai ibu-ibu mereka saling bertemu dan langsung akrab (ya iya, sesama istri tentara, semacam udah sama frekuensinya). Padahal posisinya masih geje. Entah udah jadian, masih TTM (Temen Tapi Mengharapkan), atau ya udah jadi soulmate tinggal nunggu lamaran ke rumah abis lulus SMA aja, Jon.

Terus, dimanakah konflik yang bisa memecah belah persatuan hati dua insan yang tengah bersemi?

Jawabannya : posisi Dilan sebagai Panglima Tempur. Solidaritas brotherhood atau pujaan hati yang bikin klepek-klepek. Rindu emang berat. Tapi lebih berat lagi kalo pasukan beraksi tanpa jenderalnya.

Nah, nantikan di Dilan 1991, konflik ini bakal diperdalam karena di Dilan 1990 belum terasa ganjalan berarti di hubungan Dilan-Milea.

Oke, saya rada bingung mau merangkum ceritanya, karena takut banyak spoiler yang merusak kekhusyukan fangirling di film ini.

***


Jadi, bagaimana kesan saya menonton film Dilan 1990?

Ehm, saya bahas pahit-pahitnya dulu, ya.

Film ini sangat Dilan-Milea sentris. Tokoh-tokoh lain yang dikupas dalam di novelnya, mohon maaf, cuma jadi bubuk micin doang dalam film.

Misalnya, Wati dan Piyan yang sebenarnya pegang peranan mendampingi Dilan-Milea, terasa macam tempelan aja. Karakter Bunda Dilan dan Ibu Milea yang khas, juga terkesan ditampilkan terburu-buru dikejar durasi. Apalagi akting ciamik Teuku Wikana yang biasanya jayalah merdeka, malah mendelep pas jadi Pak Suripto, si guru BP galak.

Dari kesan saya pribadi, kesan “Bandung” sebagai latar di film ini kurang terasa. Sebenarnya, faktor yang paling menentukan adalah logat para pemain yang kurang nyunda. 😕😕

Yah, saya maklumi sih, film ini memang untuk konsumsi nasional. Atau, bisa juga, yang dijadikan referensi adalah film remaja era 80-an dan 90-an. Jadi, gaya bicaranya pun kurang natural. Kerasa banget, oh ini dialog film (ya iyalah Winnnn, emangnya ini ngerekam pembicaraan anak sekolah pake CCTV #selftoyor).

Dandanan cewek-cewek pemeran film juga terlalu kekinian. Apalagi Wati yang rambutnya macem baru keluar dari salon Anata. Masih dengan curly keceh, yang kalo ketiup angin angkot pun buyar dengan sukses.

Dari semua temen Dilan dan Milea, Nandan yang tampangnya sesuai kebaheulaan. Sisanya masih terasa aroma generasi milenial hepi yayaya.

Yang juga mengganggu saya, padahal sepele, adalah warna angkot Kalapa-Buah Batu yang salah. Sebagai veteran anak angkot, saya langsung ngeh, kenapa itu yang dipakai angkotnya jurusan St. Hall – Sadang Serang? Harusnya warna biru elektrik, duh!

Namun, lagi-lagi mari berbesar hati memaklumi. Mungkin waktu itu carter angkotnya susah. Kemudian warna hijau strip kuning itu lebih matching sama pepohonan pada latar. Apalah saya, cuma pemerhati angkot, bukan tim artistik yang kompeten soal estetika layar perak.

Demikian isi kritik kejulidan saya dari film Dilan 1990.

Nah, apa yang bikin saya rela nonton film Dilan 1990 ini sampai habis?

Hal utama, nonton film ini seperti minum secangkir teh manis hangat di hujan rintik-rintik. Simple, sweet and warm. Begitu perasaan saya melihat chemistry Dilan dan Milea. Acungan jempol buat Iqbal dan Vanesha yang bisa menyuguhkan karakter Dilan dan Milea versi sendiri.

Dilan versi Iqbal memang lebih lovable. Iqbal menonjolkan sisi manis dan perhatian dari seorang Dilan ketimbang sisi tengilnya. Vanesha pun sama. Milea yang di dalam buku terasa seperti ABG labil yang plin-plan dan sempat ada kesan “ini cewek kok egois dan enggak mau kehilangan fans”, terhapus semua dalam film Dilan. Milea versi film adalah Milea yang lembut, feminin, sama lovable-nya dengan Dilan.

Terlepas dari segala kekurang 90-an tampang mereka, yang penting aliran rasa antara Dilan dan Milea terbaca jelas. Ekspresi malu-malu kucing, demen tapi dikulum doang, aku mau cium tapi entar dulu, semacam itulah tergambar gamblang di layar. Kecuali masa SMA kamu emang butek, pastikan bakal ada jerit KYA KYA KYA (minimal dalam hati deh) pas melihat adegan makan bakso Akung dan kherupuque therphoteque andalan itu.

Saya juga terbawa nostalgila, melihat beberapa ornamen khas 90-an, terutama adegan telepon-teleponan. Kangen rasanya ngobrol di telepon dengan orang yang kita suka. Tanpa ribet mikirin, "Ih kok cuma di-read doang sih?" Usaha nukerin koin buat nangkring di telepon umum, dengan emak-emak di belakang yang ngantre sambil manyun.

Namanya selera ya, wajar ada pro kontra juga dalam menonton film Dilan 1990. Namun, dari mayoritas orang sekitar saya, rata-rata memberikan ulasan positif tentang film Dilan 1990 ini.

Ada yang jadi teringat mantan gebetan waktu SMA. Ada yang tahu-tahu menggombali istri dengan pick up line ala Dilan. Atau, seperti suami saya yang tahu-tahu kesambet beli sepatu Warrior demi mirip Dilan. (Maaf Pah, kamu Dulan, teh banDULAN

Saya mencoba tutup mata dan tutup kuping dari semua tudingan miring tentang Dilan. Ada tuduhan syiah. Ada pula yang menyorot kelancangan Dilan memukuli guru dan mengaitkan dengan sebuah kasus pemukulan guru yang berujung maut, sebagai alasan kasus itu terjadi.

Kembali lagi ya, film ini untuk hiburan semata. Mbok ya kalau mau apa-apa dikaitkan konspirasi, tontonlah film propaganda macem zaman Hitler dulu. Terus, dampingin anak-anak di bawah 17 tahun saat menontonnya. Sampai segitu gendengnya meniru, bukan salah filmnya. Mungkin emang pola pengasuhannya aja bermasalah.

Gitu aja kok repot. *kibas jaket jins* 

Akhir kata, saya keluar bioskop sambil tersenyum-senyum sendiri. Tidak perlu hal muluk-muluk untuk membuat cinta jadi berarti. Seperti halnya Dilan yang hanya ingin membuat Milea bahagia dengan cara sederhana.

Jadi, kalau udah masuk tanggal tua, tolong kirimin saya buku TTS yang udah diisi, ya. Boleh juga kalau diselipin bukti transfer ke rekening BCA saya sekalian. *digeplak Suripto*


Final verdict for Dilan 1990 :


8 out 10 stars! 💓💓
#TanteApproved





You Might Also Like

1 comments

  1. Dilaaannn... Tante approved pick up line-nya aja dehh... yang laen-nya saya pilih Dylan McKay aja lahhh.. (age dont lie)

    ReplyDelete

Komen dulu yuk, Kawans!